Mengungkap Kesakralan Tumpek Wayang: Tradisi, Mitos, dan Spiritualitas

Setiap enam bulan sekali, umat Hindu di Bali menyambut hari istimewa yang dikenal sebagai Saniscara Kliwon Wuku Wayang, atau yang lebih akrab disebut Tumpek Wayang tepatnya pada Sabtu, 18 Januari 2025. Hari ini memiliki makna spiritual yang mendalam, dirayakan sebagai Puja Walinya Sang Hyang Iswara, serta menjadi momen untuk menyucikan dan memuliakan berbagai karya seni dan alat-alat musik tradisional.
Makna dan Keistimewaan Tumpek Wayang
Tumpek Wayang bukan hanya sekadar hari raya, tetapi juga hari suci yang membawa pesan spiritual untuk menghaturkan doa dan upacara menuju keutamaan. Pada hari ini, umat Hindu memberikan penghormatan kepada pratima-pratima (arca) dan benda-benda seni seperti wayang, gong, gender, angklung, kentongan, dan alat seni lainnya. Dengan demikian, Tumpek Wayang tidak hanya menjaga kelestarian seni dan budaya, tetapi juga menegaskan hubungan antara manusia, seni, dan kekuatan ilahi.
Selain itu, Tumpek Wayang dianggap keramat karena berkaitan dengan mitos dan kepercayaan yang termuat dalam lontar Kala Tattwa. Dalam tradisi ini, anak-anak biasanya dilarang keluar rumah sejak sehari sebelum Tumpek Wayang, yang dikenal sebagai penyalukan atau kalapasa. Hal ini terkait kepercayaan bahwa anak yang lahir tepat pada hari Sabtu Wuku Wayang dapat menjadi santapan Bhuta Kala. Oleh karena itu, ritual khusus berupa Wayang Sapuh Leger sering diadakan untuk meruwat dan menyucikan anak yang lahir pada waktu tersebut.
Filosofi Wayang Sapuh Leger
Menurut para ahli, istilah sapuh berarti membersihkan, sementara leger bermakna kotoran atau mala yang melekat pada diri manusia. Secara keseluruhan, Wayang Sapuh Leger adalah prosesi peruwatan untuk membersihkan diri dari energi negatif yang mungkin terbawa sejak lahir. Ritual ini menjadi bagian penting dalam tradisi Tumpek Wayang, yang berlangsung selama seminggu penuh dalam Wuku Wayang, dengan puncaknya dirayakan pada hari Sabtu.
Ritual dan Banten dalam Tumpek Wayang
Pada Tumpek Wayang, umat Hindu melaksanakan ritual keagamaan yang disertai berbagai banten atau persembahan. Beberapa banten yang digunakan di antaranya adalah Banten Pejati, Biakaon, Tebasan, Peras, Pengambean, dan Dapetan. Setelah ritual selesai, prosesi ini ditutup dengan Segehan, yang secara khusus menggunakan caru pandan wong (pandan berduri) dan segehan manca warna (lima warna).
Sehari sebelum Tumpek Wayang, tepatnya pada Jumat atau Sukra Wuku Wayang, umat Hindu di Bali melaksanakan ritual yang disebut Meseselat. Dalam tradisi ini, mereka memasang seselat berupa pandan berduri atau tumbuhan berduri lainnya di setiap pelinggih, sanggah, hingga tempat-tempat seperti sumur dan pelangkiran. Ritual ini bertujuan untuk melindungi rumah dari kekuatan jahat. Pada pagi hari Tumpek Wayang, semua seselat yang telah dipasang dikumpulkan dan ditempatkan di lebuh rumah sesuai tradisi masing-masing keluarga.
Harmoni Seni, Kepercayaan, dan Ritual
Tumpek Wayang adalah wujud nyata dari bagaimana tradisi Hindu Bali mengharmonisasikan seni, kepercayaan, dan ritual dalam kehidupan sehari-hari. Momen ini tidak hanya menjadi pengingat akan pentingnya menjaga kesucian spiritual, tetapi juga memperkuat hubungan manusia dengan seni sebagai medium penghormatan kepada Sang Pencipta. Dengan kekayaan makna dan tradisinya, Tumpek Wayang menjadi salah satu warisan budaya yang terus lestari dan memberikan pelajaran tentang keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan.
Melalui Tumpek Wayang, umat Hindu Bali tidak hanya merayakan hari suci, tetapi juga menjaga kelangsungan nilai-nilai luhur budaya dan spiritualitas yang telah diwariskan secara turun-temurun. (red)
Redaksi KabarBaliTerkini.Com Kontak : info@kabarbaliterkini.com WA : 0878-3382-2848
Post Comment