Sekda Buleleng Ingatkan ASN Hati-Hati Bermedsos, Dorong Optimalkan Kanal Pengaduan Resmi
Buleleng – Sekretaris Daerah Kabupaten Buleleng, Gede Suyasa, mengingatkan para pejabat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) agar berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Menurutnya, posisi pejabat sangat rentan menjadi sorotan publik dan dengan mudah bisa diviralkan, bahkan dari hal-hal yang tidak disengaja.
“Posisi pejabat itu sangat rentan dan sangat mudah diviralkan. Yang suka bermain medsos, hati-hati, karena sulit menentukan mana gestur tubuh yang benar dan mana yang salah,” kata Suyasa saat membuka Sosialisasi Peraturan Bupati Nomor 9 Tahun 2025 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan di Lingkungan Pemerintah Daerah, Senin (29/9), di Ruang Rapat Unit IV Kantor Bupati Buleleng.
Ia menegaskan, tampilan di media sosial bisa direkayasa atau dipersepsikan negatif oleh pihak lain. Karena itu, pejabat diminta memahami risiko tersebut dan tidak meremehkan dampaknya.
Selain soal media sosial, Suyasa juga menyoroti mekanisme pengaduan masyarakat. Ia menilai masih banyak laporan publik yang tidak disalurkan melalui kanal resmi pemerintah daerah. Hal itu terjadi karena belum semua perangkat daerah mengoptimalkan ruang pengaduan yang tersedia di laman masing-masing.
“Kalau pengaduannya bagus, kita bisa merespons secara positif untuk melakukan perbaikan. Tapi banyak yang melakukannya tidak lewat media kita,” ujarnya.
Ia pun menginstruksikan agar kanal pengaduan perangkat daerah, termasuk berbasis website, benar-benar diaktifkan agar aduan masyarakat maupun ASN tidak bergeser ke ruang publik tanpa kendali.
Sementara itu, Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian, dan Statistik Kabupaten Buleleng, Ketut Suwarmawan, menegaskan bahwa pemerintah sudah menyediakan sistem pengaduan resmi yang bisa dipertanggungjawabkan, salah satunya melalui SP4N Lapor.
“Aduan ini dibuat agar masyarakat maupun pegawai bisa menyampaikan masukan melalui kanal resmi,” kata Suwarmawan yang akrab disapa Ketsu.
Ia mengakui media sosial memang menjadi saluran komunikasi paling banyak diakses, terutama WhatsApp, Facebook, Instagram, dan TikTok. Namun, kecepatan arus informasi di media sosial sering memunculkan mispersepsi karena banyak informasi yang belum jelas langsung menyebar.
“Dalam hitungan detik sudah bisa mem-post atau memberi informasi yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Itu sering menimbulkan salah persepsi dan tentu merepotkan pemerintah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ketsu memaparkan data pengaduan resmi yang masuk dalam empat tahun terakhir. Pada 2021 tercatat 60 aduan, 2022 sebanyak 53, 2023 meningkat menjadi 81, dan 2024 mencapai 98 aduan.
“Bukan soal besar kecilnya aduan, tapi keberhasilan kita menyelesaikannya tanpa menimbulkan persoalan baru,” tegasnya. (rls/red)